Sumber Gambar: dosenpendidikancom |
Karya: Arif Muhammad Iqbal (MAN 1 Tasikmalaya)
Sebelum membahas bagaimana peran dan aspek apa yang bisa diambil oleh
generasi milenial dalam pembangunan ekonomi-politik Indonesia, perlu dikaji
secara mendalam terlebih dahulu landasan idiil dan tujuan mau kemana
pembangunan negara dan bangsa ini untuk kedepannya. Sebagai landasan idiil
Pancasila harus dan tetap menjadi kekuatan pengikat seluruh tatanan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sementara itu tujuan dari pembangunan Indonesia sebagaimana dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea 4: “...melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”
Pedoman serta paradigma dari Pancasila dan tujuan yang sudah dirumuskan
oleh founding fathers bangsa perlu
selalu ditanamkan ulang dan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari generasi
masa kini sebagai koridor ke arah mana pembangunan akan dilaksanakan. Kemudian
dimanifestasikan dalam aspek sosio-politik, sosio-ekonomi maupun aspek-aspek
pendukung yang lainnya. Jika kita generasi milenial sebagai pewaris bangsa
lepas dari pedoman tersebut, maka akan membuat kita terjebak pada kondisi
disorientasi, tidak jelas arah dan menuju kehancuran yaitu menjadi bahan
eksploitasi negara lain.
Sejarah bangsa dan negara Indonesia ini telah melampaui banyak pasang
surut, mulai masa Soekarno dengan perjuangan panjang serta dialektika guna
menentukan bentuk juga landasan republik, melewati masa Soeharto dengan
‘pembangunannya’, kemudian berganti beberapa pemimpin. Diujung abad kedua puluh
itulah terjadi peristiwa reformasi dan bangsa kita diantar masuk ke milenium
baru. Sedangkan calon ‘penghuninya’ dikategorikan sebagai generasi milenial.
Secara lebih detail, siapakah milenial itu?
Istilah generasi milenial lahir dari ilmu sosiologi pada kajian teori
generasi. Dimana teori generasi ini dicetuskan pertama kali oleh Karl Mannheim
pada 1923. Dalam esai berjudul “The
Problem of Generation”, sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi.
Menurutnya, manusia- manusia di dunia ini akan saling mempengaruhi dan
membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama.
Maksudnya, manusia- manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti
memiliki karakter yang berbeda, meski saling mempengaruhi.
Definisinya jika merujuk artikel Aulia Adam dalam Tirto.id, diungkapkan
bahwa generasi milenial, yang juga mempunyai nama lain Generasi Y, adalah
kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut
milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak
teori generasi pertama kali dikenalkan. Karakteristik dari generasi ini menurut
laporan Alvara Research Center pada Februari 2017 lalu, disingkat menjadi 3C,
yaitu: Creative (bisa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan), Confidence (percaya diri dan berani
mengungkapkan pendapat tanpa ragu) dan Connected
(pandai bersosialisasi dan pengguna aktif internet).
Selanjutnya jika merujuk riset dari Nielsen (2014) berjudul Millenials Breaking The Myth, bisa kita
temukan bahwa karakteristik generasi milenial adalah:
- Terbiasa dengan keberagaman, ekspresif dan mempunyai optimisme tinggi.
- Mengarahkan kembali gerakan sosial ke kota atau termasuk masyarakat urban.
- Pejuang ditengah biaya pendidikan yang tinggi, fenomena pengangguran dan tingkat pemasukan yang rendah, tetapi mereka juga memiliki semangat enterpreneurship.
- Termasuk pembeli yang loyal dan menginginkan keunikan khas produk.
- Selalu terhubung dan ingin sentuhan pribadi ketika bersentuhan dengan perusahaan.
Seberapa besar power dan
seberapa lebar terbukanya peluang generasi milenial untuk menjadi bagian
penting mewujudkan cita-cita pembangunan Indonesia? Bisa dilihat dalam data BPS
menunjukkan bahwa 50% dari penduduk usia produktif saat ini berasal dari
generasi milenial dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan mencapai 70% usia
penduduk produktif. Kuantitas yang cukup besar untuk menjadi potensi titik
balik perubahan banyak kondisi di negara ini. Jika mengambil perspektif Y. B. Mangunwijaya
dalam buku “Pasca Indonesia, Pasca Einstein” (1999), maka generasi Indonesia
yang akan datang adalah mereka yang berpikir multidimensional, bertindak
dialektis dan dialogis sehingga akan mendatangkan toleransi yang sangat tinggi,
menghargai hak asasi dan mampu menggunakan teknologi secara kritis. Karakter
seperti inilah yang diharapkan muncul bersamaan dengan tingginya intensitas
penggunaan teknologi dan internet oleh generasi milenial. Tinggal tugas kita
secara sadar dan kolektif untuk mengubah keunggulan komparatif berupa jumlah
tersebut menjadi keunggulan kompetitif, dimana masing-masing individu dari
jumlah yang sekian banyak memiliki kualitas yang mumpuni guna memasuki dan
menjadi aktor utama dibalik pembangunan dan perwujudan cita-cita Indonesia.
Sebagaimana dituliskan diatas.
Dari sekian banyak ruang generasi milenial, kita perlu masuk dan berperan aktif dalam pembangunan
didalamnya. Penulis memilih mengkaji dua pilihan, yaitu: aspek sosio-politik
dan aspek sosio-ekonomi. Pertama, aspek sosio-politik. Mungkin gambaran umum
tentang bagaimana dan apa yang terjadi dalam politik di Indonesia diwakili oleh
beberapa kata, misalnya: Money Politic, oligarki oleh elit-elit
tua yang itu-itu saja sejak orde baru, politik biaya tinggi, korupsi sistemik,
absennya anggota legislatif dalam rapat-rapat penting mereka, produk
perundangan dan kebijakan yang sering tidak sempurna diselesaikan atau salah
kaprah, kesan dan budaya aristocrat dari
wakil rakyat dan pejabat eksekutif yang seharusnya adalah pelayan masyarakat,
intrik, pragmatisme, penggunaan isu SARA dalam kampanye pemenangan dan
sebagainya. Segala hal yang membuat jagat politik kita tampak kehabisan
harapan, tumpul dan ruang yang ‘kotor’ serta merusak bagi generasi milenial
jika kita ikut masuk kedalamnya.
Comments
Post a Comment